Senin, 13 Desember 2010

KETENTUAN PIDANA DALAM HUKUM KEUANGAN NEGARA


Kadang kala pengelolaan keuangan Negara terlaksana secara benar, namun terkadang juga tidak terlaksana dengan benar. Pengelolaan keuangan Negara secara benar tidak menimbulkan problematika hukum karena didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, pengelolaan keuangan Negara secara tidak benar melahirkan problematika hukum yang penyelesaiannya harus dilakukan berdasarkan ketentuan pidana yang termaktub dalam UUP3KN karena pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara hanya terdapat dalam UUP3KN.
            Ketentuan pidana yang termuat dalam UUP3KN merupakan instrument hukum yang bersifat primum remediu, bukan bersifat ultimum remedium. Dalam arti ketika terjadi perbuatan dalam pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara yang terjaring masuk ke dalam ketentuan pidana UUP3KN, harus dilakukan penyelesaian berdasarkan pasal-pasal yang terkait dengan perbbuatan itu. Disini letak sifat primum remedium dibandingkan dengan sifat ulitimum remedium karena berkaitan dengan perbuatan pada saat dilakukan pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara.
            Perbuatan yang dikategorikan sebagai delik dalam ketentuan pidana terdapat dalam pasal 24, pasal  25, dan pasal 26 UUP3KN. Perumusan delik dalam Pasal 24, pasal 25, dan pasal 26 UUP3KN merupakan delik formil karena pelaku tidak ada unsure kerugian Negara akibat dari perbuatan yang dilakukan. Pelaku yang melakukan delik formil tertuju pada setiap orang dan bahkan setiap pemeriksa pada saat melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara. Namun, tidak terdapat penafsiran autentik mengenai siapa yang tergolong sebagai setiap orang sehingga harus dihubungkan dengan ketentuan yang terlanggar sebagaimana ditentukan dalam UUP3KN.
            Delik formal yang terdapat dalam ketentuan pidana dalam UUP3KN lebih banyak dilakukan dengan kesengajaan (opzet). Kesengajaan menurut Vos (Zainal Abidin Farid, 2007;287) adalah sebagai maksud terjadi jikalau pembuat delik menghendaki akibat perbuatannya. Sementara itu, Wirjono Prodjodikoro (2003;66) berpendapat bahwa kesengajaan (opzet)itu tiga macam, yaitu:
1.      Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk)
2.      Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disetai keinsafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi atau kesengajaan secara keinsyafan kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)
3.      Kesengajaan seperti sub 2, tetapi dengan disertai keinsafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian) bahwa suatu akibat akan terjadi atau kesengajaan secara keinsafan kemungkinan (opzet bij mogellijkheidsbewustzijn)
Berkaitan delik formal yang terdapat pada ketentuan pidana, sangat meringankan bagi penuntut umum maupun hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang tekait dengan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara. Factor meringankan bagi penuntut umum adalah tidak ada kewajiban untuk membuktikan mengenai akibat hukum berupa kerugian Negara yang timbul dari perbuatan yang didakwakan kepada pelaku. Demikian pula bagi hakim, putusan yang dibuatnya tidak memerlukan pertimbangan mengenai akibat hukum berupa kerugian Negara dari perbuatan yang diakukan oleh terdakwa.

Selasa, 23 November 2010

PERMASALAHAN REVISI UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003


A.     KRISIS HUKUM KETENAGAKERJAAN
Lahirnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bisa dipisahkan dari kebijakan pemerintah dalam melakukan reformasi di bidang ketenagakerjaan dalam rangka memenuhi permintaan modal asing/kapitalis yang dipaksakan melalui badan-badan seperti World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF) sebagai kekuatan pemaksa kapitalis internasional bagi seluruh Negara terbentuknya liberalisasi pasar.
Bentuk-bentuk pemaksaan ini dapat ditemui melalui penghapusan tariff (penghapusan pajak impor dan kuota ekspor) ataupun penghapusan berbagai subsidi bbuat rakyat (pendidikan, kesehatan, BBM, dan lain-lain). Indonesia sebagai Negara berkembang adalah salah satu Negara yang terkena dampak akibat pemaksaan lembaga-lembaga donor kapitallis internasional tersebut, yaitu sejak ditandatanganinya Letter of Intens (baca LoI) antara pemerintah Indonesia dan IMF, yang salah satu poinnya adalah pemerintah Indonesia harus melakukan reformasi terhadap hukum perburuhan yang dipandang terlalu memberikan perlindungan (protection) terhadap buruhnya dan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, yang akhirnya lahir tiga paket Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI.
Di satu sisi pekerja/buruh  diperbolehkan berorganisasi, bahkan dipermudah dengan 10 orang  pekerja / buruh boleh membentuk organisasi pekerja/buruh, tetapi tidak ada jaminan perlindungan bagi pekerja/buruh yang berorganisasi. Di lain pihak, dengan system kerja kontrak dan outsourcing sudah dipastikan pekerja/buruh takut untuk masuk/membentuk serikat pekerja/buruh karena takut tidak diperpanjang masa kontraknya. Padahal serikat pekerja/buruh adalah alat yang mutlak dibutuhkan oleh buruh untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya, serta untuk membentengi kaum pekerja/buruh dari perlakuan buruk pengusaha. Belum lagi mandulnya penegakan hukum dari aparat pemerintah. Banyak kasus-kasus pidana yang dilakukan pengusaha untuk melakukan tindakan menghalang-halangi hak kebebasan berserikat yang telah dilaporkan kepada polisi dan Depnaker, namun tidak ditindaklanjuti. Hal ini semakin meneguhkan bahwa pemerintah dan pengusaha sama saja.
Disahkannya tiga paket undang-undang perburuhan oleh DPR dan pemerintah merupakan pukulan yang telak bagi kaum buruh /pekerja dan gerakan buruh karena tiga undang-undang tersebut kualitasnya lebih rrendah dari peraturan yang digantinya, yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964. Sebab kedua undang-undanng yang dibuat di zaman Soekarno ini sangat jelas dan meyakinkan masih memiliki paradigm bahwa kaum pekerja/buruh adalahh kelompok yang lemah atau rendah dibandingkan dengan pemilik modal/pengusaha, sehingga wajib diberikan perlindungan dalam bentuk kepastian kerja dan perllindungan sosialnya, intinya kaum buruh diberikan perlindungan (proteksi) oleh pemerintah melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang No, 12 Tahun 1964. Adapun melalui tiga paket Undang-Undang ketenagakerjaan saat ini, pemerintah lepas tangan (tidak memberikan perlindungan terhadap kaum pekerja/buruh) dan menyerahkan sepenuhnya masalah perburuhan ini pada mekanisme pasar.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 semenjak lahir telah menjadi kontroversi baik di kalangan pengusaha, pemerntah, apalagi di kalangan pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh. Para pekerja/buruh secara lantang menyatakan penolakannya, mulai dari petisii, pernyataan sikap, menyampaikan draf tandingan bahkan sampai aksi-aksi jalanan di berbagai kota dan kawasan industry yang melibatkan ribuan buruh. Namun, meskipun mendapat penolakan dari kaum buruh tetap saja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini dipaksakakn berlaku oleh rezim penindas pekerja/buruh.
Masalah yang pokok dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah menghilangkan jaminan hak atas pekerjaan, melegalkan praktik system kerja kontrak illegal dan outsourcing, melepaskan tanggungjawab, serta kewajiban Negara untuk melindungi pekerja/buruh dan mempertahankan hak atas pekerjaannya, mengebiri serikat pekerja/buruh dan melegitimasi upah murah. Intinya substansi isi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini sangat merugikan dan tidak berpihak pada kaum pekerja/buruh, sehingga dampaknya sangat nyata dirasakan oleh kakum pekerja/buruh dan keluarganya begitu buruk dan menyengsarakan. Sebagaimana kita saksikan semenjak  diberlakukan undang-undang tersebut, gelombanng PHK missal terjadi di mana-mana dengan tanpa pesangon, ataupun dalam rangka menggantikan buruh tetap menjadi pekerja/buruh kontrak, semua perusahaan beramai-ramai tidak lagi menerima pekerja/buruh tetap, semuanya sebagai pekerja/buruh kontrak atau outsourcing demi menghindari berbagai kewajiban pengusaha dalam pemenuhan hak-hak pekerja/buruh (upah yang layak, jaminan social, pesangon, ddan THR). Di samping itu masih banyak lagi deretan peristiwa yang menjelaskan praktik-praktik yang membuat kaum pekerja/buruh ditindas dan dihisap (eksploitasi) baik yang terang-terangan ataupun yang terselubung yang dilakukan oleh pemodal/pengusaha dan pemerintah atas nama hukum Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
Di dalam UUD 1945 pasal 27 ayatt (2) telah ditegaskan bahwa setiap warga Negara berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Jelaslah bahwa pemerintah mempunyai tugas melayani dan melindungi rakyatnya ttermasuk kaum buruh yang dalam proses ekonomi sangat menentukan bagi berputarnya roda ekonomi satu Negara.
Adanya indikasi revisi undang-undang ketenagakerjaan ini pun adalah dalam rangka memenuhi permintaan modal asing yang akan berinvestasi di Indonesia, karena dipandang bahwa undang-undang yang ada tidak ramah pada investasi dan terlalu memproteksi (melindungi) kaum pekerja/buruh. Pemerintah sendiri menargetkan paling lama pad bulan Juni 2006 revisi undang-undang ketenagakerjaan dan peraturan perburuhan lainnya ini sudah harus selesai, selain undang-undang di bidang perburuhan, pemerintah juga melakukan tevisi mengenai undang-undang PMA sesaui dengan permntaan para investor (multi national Corporatioan/MNC) untuk memeberikan kemudahan dan akses yang benar bagi para kapitalis asing dalam menguras dan merampok kekayaan alam Indonesia, serta memeras dan menindas kaum pekerja/buruh.
Dengna batasan waktu sampai bulan Juli 2006, pemerintah Indonesia harus segera melakukan implementasi kebujakan perburuhan yang propasar bebas. Revisis tersebut disinyalir akan dilakukan oleh pemerintah dengan langkah cepat dalam rangka memenuhi permintaan modal asing dan menghindari gejolak dari kaum pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh, serta polemic yang berkepanjangan. Diperkirakan revisi akan dilakukan tidak dengan cara menerbitkan undang-undang pengganti undang-undang ketenagakerkaan melainkan dengan cara mebuat peraturan presiden, sehingga tidak melibatkan DPR atau denagn kata lain bahwa revisi serikat pekerja/buruh yang mudah diatur saja. Revisi ini akan segera dapat diimplementasikan dan mendorong investasi asing segera masuk ke Indonesia.
Penolakan terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan revisinya menjadi agenda yang sangat penting dan mendesak yang harus dilakukan oleh seluruh kaum pekerja/buruh Indonesia dan serikat buruh progresif. Mereka harus segera melakukan penggalangan massa dan kampanye public yang sangat kuat untuk mendorong isu ini menjadi focus perhatian bagi semua kaum buruh dan juga rezim yang berkuasa agar bersedia memperhatikan nasib kaum pekerja / buruhnya.

Sumber; Sutedi, Adrian.2009.Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika.hlm. 249-252

ALASAN-ALASAN MELAKUKAN PERUBAHAN UUD 1945


Pertama, secara historis, pemikiran yang mendorong perubahan UUD 1945 terkait dengan sifat kesementaraan UUD. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Soekarno sebagai berikut:

“UUD yang dibuat sekarang adalah UUD Sementara. kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah UUD kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis permusyawaratan rakyat yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurna.”

Dalam kesempatan pelantikan anggota Konstituante pada tanggal 10 November 1956, Soekarno mengulangi kembali pernyataan yang hampir senada sebagai berikut:

“kita bukan tidak punya konstitusi, malahan dengan konstitusi yang berlaku sekarang (UUD Sementara 1950,pen.) kita sudah mempunyai tiga konstitusi. Tapi semua konstitusi itu (UUd 1945, KRIS 1949 dan UUD Sementara 1950,pen.) adalah bersifat sementara. Semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawaratan antara angggota-anggota sesuatu konstituanse yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat pemerintah. Tapi semua Negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak sebbuah konstitusi yang dibuat oleh tangan rakyat sendiri”.

Alasan Soekarno mengatakan konstitusi sebagai konstitusi sementara terkait dengan kondisi obyektif yang berada di sekitar  persiapan dan penetapan UUD 1945 itu sendiri. Ketika itu, dalam suasana perang dan peralihan dari kekuasaan Jepang kepada Sekutu yang menyebabkan kekosongan kekuasaan di Indonesia, para pendiri negara tidak mungkin membuat konstitusi yang sempurna. Bagi mereka, yang paling penting Indonesia merdeka dan ada hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional terbentuknya negara  yang merdeka.
Kedua, alasan substantive. Selain sifat kesementaraan itu, perubahan terhadap UUD 1945 tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945 sehingga tidak pernah menampilkan pemerintahan yang demokratis. Kelemahan itulah yang menjadi alasan kuat (raison d’etre) untuk mengubah konstitusi hasil karya pendiri bangsa ini. Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Reformasi Hukum dan Perundang-undangan yang dibentuk Presiden Habibie, sebelum perubahan UUD 1945 memiliki lima kelemahan mendasar, yaitu :
1.      Struktur ketatanegaraan yang sangat executive-heavy
2.      Tidak cukup mengatur checks and balances
3.      Terdapat ketentuan yang tidak jelas (vague)
4.      Terlalu banyak delegasi kepada undang-undang
5.      Beberapa muatan Penjelasan UUD 1945 yang tidak konsisten dengan pasal-pasal dalam UUD 1945
Selain itu Kelompok Kerja menambahkan terdapat banyak kekosongan (rech vacuum) yang seharusnya diatur dalam UUD 1945.
Secara substansi, UUD 1945 sangat executive-heavy dan sangat minum checks and balances. Hal ini tidak terlepas dari keinginan pendiri Negara yang ingin memberikan kekuasaan yang lebih besar bagi eksekutif tanpa menentukan batas-batas kekuasaan secara jelas dan minus checks and balances sehingga memberikan kekuasaan yang amat dominan kepada Presiden. Dalam system presidential, presiden cenderung diberikan kekuasaan yang relative besar, namun desain konstitusi harus cenderung mampu mengantisipasi agar presiden tidak menjadi pemimpin yang otoriter.
Di Indonesia, kekuasaan besar yang diberikan tanpa control konstitusional yang memadai. Dalam ranah legislasi misalnya, meski sudah dijelaskan sebelumnya bahwa DPR dan Presiden merupakan pemegang kekuasaan legislasi, dalam praktek presiden jauh lebih dominan dibanding dengan DPR. Mahfud mengilustrasikan, sebuah RUU yang telah disetujui DPR jika tidak disahkan presiden, tidak dapat diajukan lagi. Begitu dominannya presiden, RUU yang sudah disetujui DPR dan pemerintah tidak disahkan oleh presiden. Contoh itu dapat ditambah lagi dengan pembubaran DPR oleh Presiden Soekarno karena lembaga ini menolak Rancangan APBN yang diajukan pemerintah.
Sekalipun Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah tidak bersifat absolutisme dan Indonesia tidak berdasarkan kekuasaan belaka, namun dengan besarnya kekuasaan lembaga kepresidenan, sangat sulit terciptanya balance of power apalagi checks and balances di antara cabang kekuasaan pemerintah. Apalagi dorongan untuk menjadikan presiden menjadikan presiden  mempunyai kekuasaan yang absolute dilegitimasi oleh Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan “Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawah MPR”. Tidak cukup dengan hal itu, dalam menjalankan pemerintahan presiden menjadi pusat kekuasaan dan tanggung jawab penyelenggara negara (concentration of power and responisibility upon the President).
Dalam hal terlalu banyak delegasi kepada undang-undang, Penjelasan UUD 1945 secara ekspisit menyatakan bahwa hukum dasar yang dirancang oleh para pendiri negara bersifat singkat dan supel. Berhubung dengan sifat itu, ditegaskan sebagai berikut:

“Maka telah cukup jikalau UUD hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagi instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social. Terutama bagi Negara batu dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanyya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan undang-undang, yang lebih mudah cara membuat, mengubah, dan mencabut”.

Berdasarkan hal itu, UUD 1945 memang telah dirancang sedemikian rupa dengan memberikan pendelegasian yang lebih rendah berupa undang-undang. Dari ketentuan yang ada, setidak-tidaknya UUD 1945 mendelegasikan 15 masalah penting penyelenggaraan negara kepada undang-undang. Masalah-masalah itu meliputi : komposisi keanggotaan MPR, syarat dan akibat keadaan bahaya, susunan Dewan Pertimbangan Agung, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, susunan keanggotaan DPR, pajak, mata uang, keuangan Negara, susnan dan kedudukan kahakiman, syarat menjadi dan diberhentikan sebagai  hakim, kewarganegaraan, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, pertahanan Negara, dan pendidikan nasional.
Jika diletakkan dalam teori konstitusi, sebagian masalah penting itu seharusnya diatur dengan materi hukum dasar bukan mendelegasikannya menjadi substansi undang-undang. Sebagaimana dinyatakan S.E. Finer, Vernon Bogdanor dan Bernard Rudden, konstitusi merupakan seperangkat norma yang bertujuan mengatur fungsi-fungsi kekuasaan serta tugas diantara berbagai lembaga negara dan mengatur hubungan antara lembaga itu termasuk hubungan dengan masyarakat. Dengan memberikan delegasi yang lebih banyak kepada undang-undang, sebagai the fundamental and organic law of a nation UUD 1945 dapat dikatakan mereduksi diri sendiri sebagai sebuah hukum dasar.
Dalam batas-batas tertentu, jika undang-undang dasar  memmberikan atribusi kewenangan untuk mengatur beberapa hal kepada undangt-undang dapat saja dikatakan wajar dan tidak menjadi masalah. Tetapi UUD 1945 terlalu longggar menyerahkan hal-hal yang amat fundamental kepada undang-undang. Dalam system ketatanegaraan yang mengabaikan checks and balances dengan konsentrasi kekuassaan di tangan presiden, sagat mungkin undang-undang mereduksi substansi UUD 1945. Keadaan akan makin bertambah buruk dengan model fungsi legislasi yang berada dalam kendali pemerintah.
Salah satu contoh delegasi ke tingkat undang-undang yang  mereduksi substansi konstitusi adalah undang-undang yang berhubungan dengan susunan keanggotaan DPR sepanjang kekuasaan Orde Baru. Pasal 19 ayat 2 UUD 1945 menyatakan “ susunan DPR ditetapkan dengan Undang-undang”. Dengan delegasi UUD 945 untuk menentukan susunan DPR, sejak Pemilihan Umum 1971-1999, sebaian anggota DPR diisi dengan cara penunjukan. Kecuali dalam 1990-an, sejak pemilihan umum pertama OrBa, 100 orang anggota DPR dianggap dari ABRI. Dengan delegasi itu, engineering yang dilakukan undang-undang seolah-olah benar. Kondisi itu diperparah dengan adanya atribusi undang-undang kepada pemerintah )presiden) dalam bentuk peraturan pemerintah dan/atau keputusan presiden. Sepanjang kekuasaan OrBa, seperti dikemukakan Mahfud, pemerintah (presiden) telah mengakumulasikan kekuasaan secara besar-besaran kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 sehingga menjadi rezim otoriter.
Selain masalah delegasi kepada undang-undang, sejumlah pasal UUD 1945 tidak jelas yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi. Salah satu contoh klasik yang sering dikemukakan yaitu pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama masa lima tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 7 UUD 1945 secara jelas mengatur bahwa masa jabatan presiden adalah lima tahun. Ketidakjelasan dan multitafsir itu muncul dengan adanya frase “sesudahnya dapat dipilih kembali” karena tidak ada penegasan atau pembatasan untuk beberapa kali seseorang dapat menduduki jabatan presiden dan wakil presiden.
Dengan adanya pembatasan itu, sejak kembali ke UUD 1945 pada 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto 1998, tafsr yang dikembangkan dari frase “sesudahnya dapat dipilih kembali” adalah tanpa masa jabatan yang jelas (fex-term) atau durasi tanpa batas. Dalam bahasa Bambang Widjojanto, penafsiran itu kemudian dikendalikan tanpa batasan sampai kapan sesorang dapat menjabat sebagai presiden. Tafsir demikian didukung pandangan normative-legalistik yang dikembangkan sebagai pandangan standar dari kebenaran. Dengan tafsir itu, melalui Tap MPRS No. III/1960, Soekarno pernah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Begitu juga masa Orde Baru, sekalipun tidak ditetapkan seperti Soekarno, Soeharto dipilih sebagai presiden secara berulang-ulang samapai tujuh kali.
Selain masalah subsatnsi di atas, UUD 1945 terlalu percaya kepada orang bukan kepada system. Padahal semua teori konstitusi mengatakan, salah satu tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaa negara. Misalnya, van Maarseven dan Ger van der Tang mengemukakan, constitution as a mean of forming the states on political and legal system. Pendapat ini menghendaki bahwa konstitusi harus menjadi dasar untuk membangun system politik dan system hukum. Dengan pengertian itu, system menjadi lebih penting dibandingan orang yang akan mengisi system. Bukan sebaliknya, individu lebih penting daripada membangun system.
Secara substansi, Penjelasan UUD 1945 juga menimbulkan masalah (problematic) dalam penyelenggaraan negara. Sejak awal, Penjelasan UUD 1945 telah memicu pro-kantra. Salah satu penyebabnya, ketika PPKI menetapkan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1845, Penjelasan tidak menjadi bagian dari UUD 1945, Penjelasan pertama kaali ditemukan dalam Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II No.7 tanggal 15 Februari 1946. Dari penelususran Simorangkir, Penjelasan merupakan buah pikiran Supomo yang kemudian dimasukkan bersama-sama Batang Tubuh UUD 1945. Selain itu, penjelasan juga menjadi tidak lazim karena tidak ada konstitusi yang memiliki penjelasan resmi. Apalagi, baik hukum atau kenyataana, Penjelasan diperlakukan dan mempunyai kekeuatan hukum seperti pasal-pasal (Batanng Tubuh) UUD 1945.
Nnamun, problematik Penjelasan UUD 1945 yang sesungguhnya muncul karena muatannya tidak konsisten dengan pasal-pasal yang terdapat dalam pasal-pasal atau Batang Tubuh UUD 1945. Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Reformasi hukum dan Perundang-undangan, bagian-bagian yang tidak konsisten itu diantaranya, “Presiden diangkat oleh Majelis dan bertanggungjawab kepada Majelis”. Sementara dalam pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan “presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Dari kutipan di atas, tampak perbedaan antara bunyi Batang Tubuh dan Penjelasan, bahkan ada pertentangan. Dalam  praktek, yang diikuti adalah MPR “mengangkat” bukan “memilih” Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu, di bawah UUD 1945, sehjak kemaerdekaan sampai berakhirnya kekuasaan Soeeharto, presiden “diangkat” bukan “dipilih”. Bahkan, tambah Harun Alrasyid, selama keuasaan Ordde Baru,  kaidah yang hidup dalam pengisian jabatan Presiden dan wakil Presiden adalah tradisi calon tunggal.
Disamping itu, tentang “Presiden bertndak dan bertanggungjawab kepada MPR”. Sebagaimana diketahui, salah satu kelemahan UUD 1945, tidak ada pasal yang mengatur mengenai pertaggungjawaban presiden. Walaupun demikian tidak berarti penjelasan dapat serta merta menentukan “presiden bertindak dan bertanggungjawab kepada MPR”. Kemudian dalam praktek diartikan, MPR dapat memberhentikan presiden. Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia, Presiden Soekarno (1967) dan Abdurrahman Wahid (2001) diberhentikan MPR dengan menggunakan pranata “persidangan istimewa” yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945.
Ketiga, alasan Filosofis. Bagir Manan mengemukakan, secara filosofis, perubahan UUD 1945 dilakukan, pertama, UUD 1945 merupakan moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskannya UUD 1945. Setelah digunakan dalam waktu yang cukup lama, tentu terdapat berbagai perubahan baik di tingkat nasional maupun global. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai dengan kodratnya tidak akan pernah sampai pada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia   tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun kekurangan.
Masih dari sudut filsafat kenegaraan, terdapat prinsip kedaulatan yang berpotensi saling menegasikan. Setidaknya, UUD 1945 menganut tiga bentuk kedaulatan, yaitu Kedaulatan rakyat, Kedaulatan hukum, dan Kedaulatan Negara. Dari ketiga hal itu, kadaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dapat saling melengkapi. Tetapi kedaulatan Negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, kedaulatan Negara akan dengan mudah menjelma menjadi system yang yang otoriter karena Negara dijelmakan oleh individu-individu yang menjalankan pemerintahan. Filsafat kenegaraan itu bisa makin rumit dengan pencampuradukkan antara paham kedaulatan  rakyat dengan paham Negara integralistik.
Keempat, alasan teoritis. Dalam praktek ketatanegaraan sering terjadi konstitusi tidak mampu lagi menampung perkembangan yang terjadi. Biasanya untuk mengatasi situasi itu, kondisi harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam praktek ketatanegaraan. Untuk itu, Karl Loewestein mengemukakan bahwa evaluasi terhadap konstitusi menjadi sesuatu yang esensial untuk mengetahui realitas perubahan yang terjadi. Dengan alasan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi, perubahan (amandemen) atau pembaruan (reform) konstitusi menjadi pilihan. Jika perubahan tidak dilakukan, ditambahkan oleh Karl Lewenstei, kontitusi akan kehilangan nilai normative karena apa yang diatur dalam konstitusi berbeda dengan yang dipraktekkan.
Kelima, secara praktis, sekalipun tidak mengubah teks, UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan. Misalnya, keluarnya Maklumat No. X yang mengubah kedudukan KNP menjadi lembaga legislative yang sejajar dengan presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja KNP untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNP. Kemudian, BP KNIP mengusulkan untuk mengubah system pemerintahan dari system presidensial menjadi system parlementer. Terkait dengan perubahan UUD 1945 tanpa mengubah teks, Moh. Fajrul Falaakh mengatakan teks UUD 1945 memang masih seperti katika disahkan pada 18 Agustus 1945, tetapi makna Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR, independensi Mahkamah Agung, luas wilayah Negara, identifikasi atass cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tata cara perubahan UUD 1945, dan tafsir atas kontruksi ketatanegaraan.
Keenam, alasan yuridis. Menyadari ketidak sempurnaan hasil kerja manusia, pembentuk konstitusi Amerika Serikat menyatakan “nothing human can be perfect. Surrounded by difficulties, we did the best we could; leaving it with those who should come after us to take counsel from experience, and exercise prudently the power of amandement, which we had provide….
Pendapat ini membuktikan bahwa perancang konstitusi menyadari perubahan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari karena kesulitan-kesulitan yang terjadi ketika konstitusi itu dirumuskan dan perubahan dinamika ketatanegaraan yang terjadi di kemudian hari. Untuk mengantisipasi hal ini, setiap konstitusi merumuskan landasan hukum untuk melakukan perubahan.
Seperti pengalaman Amerika Serikat, para penyusun UUD 1945 juga membuat landasan hukum perubahan UUD 1945. Dalam hal ini, pasal 37 UUD 1945 ,menyatakan, (1) untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, dan (2) putusan diambil sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir. Hadirnya pasal perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari kelemahan-kelemahan dan kesulitan-kesulitan yang terjadi di sekitar proses perumusan UUD 1945. Apalagi, para pembentuk UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa UUD 1945 bersifat sementara. Karena kelemahan dan kesulitan yang ada serta sifat kesemenataraan itu, landasan hukum perubahan menjadi keniscayaan.
Karena alasan-alasan tersebut, dalam buku Panduan Pemasyarakatan UUD Negarra Republik Indonesia Tahun 1945 yang diterbitkan oleh Sekretaris MPR RI dinyatakan bahwa terdapat tujuh tujuan pokok perubahan UUD 1945 berikut ini:
1.      Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan Negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarka Pancasila.
2.      Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi
3.      Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945.
4.      Menyempurnakan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, system saling mengawasi dan saling imbang yang lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
5.      Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban Negara mewujudkan kesejahteraan social, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam kehiduan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan
6.      Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum
7.      Menyempurnakan aturan dasar mengennai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus menagkomodasi kecendrungan untuk kurun waktu yang akan datang.
Dari semua alasan melakukan perubahan tersebut, salah satu tujuan pokok adalah melakukan penataan terhadap semua lembaga negara agar tercipta mekanisme saling mengawasi dan saling imbang dianara lembaga negara. Akibatnya, pada salah satu sisi ada lembaga negara yang mendapat tambahan kewenangan secara signifikan, sementara di sisi lain sejumlah lembaga negara yang berkurang kewenangannya. Tidak hanya sekedar terjadi penambahan dan pengurangan kewenangan, perubahan UUD 1945 juga memunculkan lembaga negara yang sama sekali baru. Bahkan karena dinilai tidak relevan lagi dengan kebutuhan, ada lembaga  negara yang dihapus dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

Sumber: Isra, Saldi,2010,Pergeseran Fungsi Legislasi,Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,hlm.153-168

ALASAN-ALASAN MELAKUKAN PERUBAHAN UUD 1945

ALASAN-ALASAN MELAKUKAN PERUBAHAN UUD 1945A.Mukhtie Fadjar dalam Pidato Pengukuhan guru Besarnya “Reformasi Konstitusi dalam masa Transisi Paradigmatik” mengemukakan lima alasan perlunya melakukan perubahan terhadap UUD 1945, yaitu historis, filosofis, teoritis, yuridis, dan politik-praktis. Pertama, secara historis, pemikiran yang mendorong perubahan UUD 1945 terkait dengan sifat kesementaraan UUD. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Soekarno sebagai berikut: “UUD yang dibuat sekarang adalah UUD Sementara. kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah UUD kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis permusyawaratan rakyat yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurna.” Dalam kesempatan pelantikan anggota Konstituante pada tanggal 10 November 1956, Soekarno mengulangi kembali pernyataan yang hampir senada sebagai berikut: “kita bukan tidak punya konstitusi, malahan dengan konstitusi yang berlaku sekarang (UUD Sementara 1950,pen.) kita sudah mempunyai tiga konstitusi. Tapi semua konstitusi itu (UUd 1945, KRIS 1949 dan UUD Sementara 1950,pen.) adalah bersifat sementara. Semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawaratan antara angggota-anggota sesuatu konstituanse yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat pemerintah. Tapi semua Negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak sebbuah konstitusi yang dibuat oleh tangan rakyat sendiri”. Alasan Soekarno mengatakan konstitusi sebagai konstitusi sementara terkait dengan kondisi obyektif yang berada di sekitar persiapan dan penetapan UUD 1945 itu sendiri. Ketika itu, dalam suasana perang dan peralihan dari kekuasaan Jepang kepada Sekutu yang menyebabkan kekosongan kekuasaan di Indonesia, para pendiri negara tidak mungkin membuat konstitusi yang sempurna. Bagi mereka, yang paling penting Indonesia merdeka dan ada hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional terbentuknya negara yang merdeka. Kedua, alasan substantive. Selain sifat kesementaraan itu, perubahan terhadap UUD 1945 tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945 sehingga tidak pernah menampilkan pemerintahan yang demokratis. Kelemahan itulah yang menjadi alasan kuat (raison d’etre) untuk mengubah konstitusi hasil karya pendiri bangsa ini. Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Reformasi Hukum dan Perundang-undangan yang dibentuk Presiden Habibie, sebelum perubahan UUD 1945 memiliki lima kelemahan mendasar, yaitu : 1. Struktur ketatanegaraan yang sangat executive-heavy 2. Tidak cukup mengatur checks and balances 3. Terdapat ketentuan yang tidak jelas (vague) 4. Terlalu banyak delegasi kepada undang-undang 5. Beberapa muatan Penjelasan UUD 1945 yang tidak konsisten dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 Selain itu Kelompok Kerja menambahkan terdapat banyak kekosongan (rech vacuum) yang seharusnya diatur dalam UUD 1945. Secara substansi, UUD 1945 sangat executive-heavy dan sangat minum checks and balances. Hal ini tidak terlepas dari keinginan pendiri Negara yang ingin memberikan kekuasaan yang lebih besar bagi eksekutif tanpa menentukan batas-batas kekuasaan secara jelas dan minus checks and balances sehingga memberikan kekuasaan yang amat dominan kepada Presiden. Dalam system presidential, presiden cenderung diberikan kekuasaan yang relative besar, namun desain konstitusi harus cenderung mampu mengantisipasi agar presiden tidak menjadi pemimpin yang otoriter. Di Indonesia, kekuasaan besar yang diberikan tanpa control konstitusional yang memadai. Dalam ranah legislasi misalnya, meski sudah dijelaskan sebelumnya bahwa DPR dan Presiden merupakan pemegang kekuasaan legislasi, dalam praktek presiden jauh lebih dominan dibanding dengan DPR. Mahfud mengilustrasikan, sebuah RUU yang telah disetujui DPR jika tidak disahkan presiden, tidak dapat diajukan lagi. Begitu dominannya presiden, RUU yang sudah disetujui DPR dan pemerintah tidak disahkan oleh presiden. Contoh itu dapat ditambah lagi dengan pembubaran DPR oleh Presiden Soekarno karena lembaga ini menolak Rancangan APBN yang diajukan pemerintah. Sekalipun Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah tidak bersifat absolutisme dan Indonesia tidak berdasarkan kekuasaan belaka, namun dengan besarnya kekuasaan lembaga kepresidenan, sangat sulit terciptanya balance of power apalagi checks and balances di antara cabang kekuasaan pemerintah. Apalagi dorongan untuk menjadikan presiden menjadikan presiden mempunyai kekuasaan yang absolute dilegitimasi oleh Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan “Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawah MPR”. Tidak cukup dengan hal itu, dalam menjalankan pemerintahan presiden menjadi pusat kekuasaan dan tanggung jawab penyelenggara negara (concentration of power and responisibility upon the President). Dalam hal terlalu banyak delegasi kepada undang-undang, Penjelasan UUD 1945 secara ekspisit menyatakan bahwa hukum dasar yang dirancang oleh para pendiri negara bersifat singkat dan supel. Berhubung dengan sifat itu, ditegaskan sebagai berikut: “Maka telah cukup jikalau UUD hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagi instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social. Terutama bagi Negara batu dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanyya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan undang-undang, yang lebih mudah cara membuat, mengubah, dan mencabut”. Berdasarkan hal itu, UUD 1945 memang telah dirancang sedemikian rupa dengan memberikan pendelegasian yang lebih rendah berupa undang-undang. Dari ketentuan yang ada, setidak-tidaknya UUD 1945 mendelegasikan 15 masalah penting penyelenggaraan negara kepada undang-undang. Masalah-masalah itu meliputi : komposisi keanggotaan MPR, syarat dan akibat keadaan bahaya, susunan Dewan Pertimbangan Agung, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, susunan keanggotaan DPR, pajak, mata uang, keuangan Negara, susnan dan kedudukan kahakiman, syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim, kewarganegaraan, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, pertahanan Negara, dan pendidikan nasional. Jika diletakkan dalam teori konstitusi, sebagian masalah penting itu seharusnya diatur dengan materi hukum dasar bukan mendelegasikannya menjadi substansi undang-undang. Sebagaimana dinyatakan S.E. Finer, Vernon Bogdanor dan Bernard Rudden, konstitusi merupakan seperangkat norma yang bertujuan mengatur fungsi-fungsi kekuasaan serta tugas diantara berbagai lembaga negara dan mengatur hubungan antara lembaga itu termasuk hubungan dengan masyarakat. Dengan memberikan delegasi yang lebih banyak kepada undang-undang, sebagai the fundamental and organic law of a nation UUD 1945 dapat dikatakan mereduksi diri sendiri sebagai sebuah hukum dasar. Dalam batas-batas tertentu, jika undang-undang dasar memmberikan atribusi kewenangan untuk mengatur beberapa hal kepada undangt-undang dapat saja dikatakan wajar dan tidak menjadi masalah. Tetapi UUD 1945 terlalu longggar menyerahkan hal-hal yang amat fundamental kepada undang-undang. Dalam system ketatanegaraan yang mengabaikan checks and balances dengan konsentrasi kekuassaan di tangan presiden, sagat mungkin undang-undang mereduksi substansi UUD 1945. Keadaan akan makin bertambah buruk dengan model fungsi legislasi yang berada dalam kendali pemerintah. Salah satu contoh delegasi ke tingkat undang-undang yang mereduksi substansi konstitusi adalah undang-undang yang berhubungan dengan susunan keanggotaan DPR sepanjang kekuasaan Orde Baru. Pasal 19 ayat 2 UUD 1945 menyatakan “ susunan DPR ditetapkan dengan Undang-undang”. Dengan delegasi UUD 945 untuk menentukan susunan DPR, sejak Pemilihan Umum 1971-1999, sebaian anggota DPR diisi dengan cara penunjukan. Kecuali dalam 1990-an, sejak pemilihan umum pertama OrBa, 100 orang anggota DPR dianggap dari ABRI. Dengan delegasi itu, engineering yang dilakukan undang-undang seolah-olah benar. Kondisi itu diperparah dengan adanya atribusi undang-undang kepada pemerintah )presiden) dalam bentuk peraturan pemerintah dan/atau keputusan presiden. Sepanjang kekuasaan OrBa, seperti dikemukakan Mahfud, pemerintah (presiden) telah mengakumulasikan kekuasaan secara besar-besaran kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 sehingga menjadi rezim otoriter. Selain masalah delegasi kepada undang-undang, sejumlah pasal UUD 1945 tidak jelas yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi. Salah satu contoh klasik yang sering dikemukakan yaitu pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama masa lima tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 7 UUD 1945 secara jelas mengatur bahwa masa jabatan presiden adalah lima tahun. Ketidakjelasan dan multitafsir itu muncul dengan adanya frase “sesudahnya dapat dipilih kembali” karena tidak ada penegasan atau pembatasan untuk beberapa kali seseorang dapat menduduki jabatan presiden dan wakil presiden. Dengan adanya pembatasan itu, sejak kembali ke UUD 1945 pada 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto 1998, tafsr yang dikembangkan dari frase “sesudahnya dapat dipilih kembali” adalah tanpa masa jabatan yang jelas (fex-term) atau durasi tanpa batas. Dalam bahasa Bambang Widjojanto, penafsiran itu kemudian dikendalikan tanpa batasan sampai kapan sesorang dapat menjabat sebagai presiden. Tafsir demikian didukung pandangan normative-legalistik yang dikembangkan sebagai pandangan standar dari kebenaran. Dengan tafsir itu, melalui Tap MPRS No. III/1960, Soekarno pernah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Begitu juga masa Orde Baru, sekalipun tidak ditetapkan seperti Soekarno, Soeharto dipilih sebagai presiden secara berulang-ulang samapai tujuh kali. Selain masalah subsatnsi di atas, UUD 1945 terlalu percaya kepada orang bukan kepada system. Padahal semua teori konstitusi mengatakan, salah satu tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaa negara. Misalnya, van Maarseven dan Ger van der Tang mengemukakan, constitution as a mean of forming the states on political and legal system. Pendapat ini menghendaki bahwa konstitusi harus menjadi dasar untuk membangun system politik dan system hukum. Dengan pengertian itu, system menjadi lebih penting dibandingan orang yang akan mengisi system. Bukan sebaliknya, individu lebih penting daripada membangun system. Secara substansi, Penjelasan UUD 1945 juga menimbulkan masalah (problematic) dalam penyelenggaraan negara. Sejak awal, Penjelasan UUD 1945 telah memicu pro-kantra. Salah satu penyebabnya, ketika PPKI menetapkan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1845, Penjelasan tidak menjadi bagian dari UUD 1945, Penjelasan pertama kaali ditemukan dalam Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II No.7 tanggal 15 Februari 1946. Dari penelususran Simorangkir, Penjelasan merupakan buah pikiran Supomo yang kemudian dimasukkan bersama-sama Batang Tubuh UUD 1945. Selain itu, penjelasan juga menjadi tidak lazim karena tidak ada konstitusi yang memiliki penjelasan resmi. Apalagi, baik hukum atau kenyataana, Penjelasan diperlakukan dan mempunyai kekeuatan hukum seperti pasal-pasal (Batanng Tubuh) UUD 1945. Nnamun, problematik Penjelasan UUD 1945 yang sesungguhnya muncul karena muatannya tidak konsisten dengan pasal-pasal yang terdapat dalam pasal-pasal atau Batang Tubuh UUD 1945. Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Reformasi hukum dan Perundang-undangan, bagian-bagian yang tidak konsisten itu diantaranya, “Presiden diangkat oleh Majelis dan bertanggungjawab kepada Majelis”. Sementara dalam pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan “presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Dari kutipan di atas, tampak perbedaan antara bunyi Batang Tubuh dan Penjelasan, bahkan ada pertentangan. Dalam praktek, yang diikuti adalah MPR “mengangkat” bukan “memilih” Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu, di bawah UUD 1945, sehjak kemaerdekaan sampai berakhirnya kekuasaan Soeeharto, presiden “diangkat” bukan “dipilih”. Bahkan, tambah Harun Alrasyid, selama keuasaan Ordde Baru, kaidah yang hidup dalam pengisian jabatan Presiden dan wakil Presiden adalah tradisi calon tunggal. Disamping itu, tentang “Presiden bertndak dan bertanggungjawab kepada MPR”. Sebagaimana diketahui, salah satu kelemahan UUD 1945, tidak ada pasal yang mengatur mengenai pertaggungjawaban presiden. Walaupun demikian tidak berarti penjelasan dapat serta merta menentukan “presiden bertindak dan bertanggungjawab kepada MPR”. Kemudian dalam praktek diartikan, MPR dapat memberhentikan presiden. Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia, Presiden Soekarno (1967) dan Abdurrahman Wahid (2001) diberhentikan MPR dengan menggunakan pranata “persidangan istimewa” yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945. Ketiga, alasan Filosofis. Bagir Manan mengemukakan, secara filosofis, perubahan UUD 1945 dilakukan, pertama, UUD 1945 merupakan moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskannya UUD 1945. Setelah digunakan dalam waktu yang cukup lama, tentu terdapat berbagai perubahan baik di tingkat nasional maupun global. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai dengan kodratnya tidak akan pernah sampai pada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun kekurangan. Masih dari sudut filsafat kenegaraan, terdapat prinsip kedaulatan yang berpotensi saling menegasikan. Setidaknya, UUD 1945 menganut tiga bentuk kedaulatan, yaitu Kedaulatan rakyat, Kedaulatan hukum, dan Kedaulatan Negara. Dari ketiga hal itu, kadaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dapat saling melengkapi. Tetapi kedaulatan Negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, kedaulatan Negara akan dengan mudah menjelma menjadi system yang yang otoriter karena Negara dijelmakan oleh individu-individu yang menjalankan pemerintahan. Filsafat kenegaraan itu bisa makin rumit dengan pencampuradukkan antara paham kedaulatan rakyat dengan paham Negara integralistik. Keempat, alasan teoritis. Dalam praktek ketatanegaraan sering terjadi konstitusi tidak mampu lagi menampung perkembangan yang terjadi. Biasanya untuk mengatasi situasi itu, kondisi harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam praktek ketatanegaraan. Untuk itu, Karl Loewestein mengemukakan bahwa evaluasi terhadap konstitusi menjadi sesuatu yang esensial untuk mengetahui realitas perubahan yang terjadi. Dengan alasan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi, perubahan (amandemen) atau pembaruan (reform) konstitusi menjadi pilihan. Jika perubahan tidak dilakukan, ditambahkan oleh Karl Lewenstei, kontitusi akan kehilangan nilai normative karena apa yang diatur dalam konstitusi berbeda dengan yang dipraktekkan. Kelima, secara praktis, sekalipun tidak mengubah teks, UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan. Misalnya, keluarnya Maklumat No. X yang mengubah kedudukan KNP menjadi lembaga legislative yang sejajar dengan presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja KNP untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNP. Kemudian, BP KNIP mengusulkan untuk mengubah system pemerintahan dari system presidensial menjadi system parlementer. Terkait dengan perubahan UUD 1945 tanpa mengubah teks, Moh. Fajrul Falaakh mengatakan teks UUD 1945 memang masih seperti katika disahkan pada 18 Agustus 1945, tetapi makna Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR, independensi Mahkamah Agung, luas wilayah Negara, identifikasi atass cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tata cara perubahan UUD 1945, dan tafsir atas kontruksi ketatanegaraan. Keenam, alasan yuridis. Menyadari ketidak sempurnaan hasil kerja manusia, pembentuk konstitusi Amerika Serikat menyatakan “nothing human can be perfect. Surrounded by difficulties, we did the best we could; leaving it with those who should come after us to take counsel from experience, and exercise prudently the power of amandement, which we had provide…. Pendapat ini membuktikan bahwa perancang konstitusi menyadari perubahan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari karena kesulitan-kesulitan yang terjadi ketika konstitusi itu dirumuskan dan perubahan dinamika ketatanegaraan yang terjadi di kemudian hari. Untuk mengantisipasi hal ini, setiap konstitusi merumuskan landasan hukum untuk melakukan perubahan. Seperti pengalaman Amerika Serikat, para penyusun UUD 1945 juga membuat landasan hukum perubahan UUD 1945. Dalam hal ini, pasal 37 UUD 1945 ,menyatakan, (1) untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, dan (2) putusan diambil sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir. Hadirnya pasal perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari kelemahan-kelemahan dan kesulitan-kesulitan yang terjadi di sekitar proses perumusan UUD 1945. Apalagi, para pembentuk UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa UUD 1945 bersifat sementara. Karena kelemahan dan kesulitan yang ada serta sifat kesemenataraan itu, landasan hukum perubahan menjadi keniscayaan. Karena alasan-alasan tersebut, dalam buku Panduan Pemasyarakatan UUD Negarra Republik Indonesia Tahun 1945 yang diterbitkan oleh Sekretaris MPR RI dinyatakan bahwa terdapat tujuh tujuan pokok perubahan UUD 1945 berikut ini: 1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan Negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarka Pancasila. 2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi 3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945. 4. Menyempurnakan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, system saling mengawasi dan saling imbang yang lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman. 5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban Negara mewujudkan kesejahteraan social, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam kehiduan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan 6. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum 7. Menyempurnakan aturan dasar mengennai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi,

Minggu, 14 November 2010

REVOLUSI KORUPSI

            Keberadaan KPK sebagai akibat dari lemahnya kejaksaan dalam menangani kasus-kasus korupsi yang selama ini terjadi. Dengan munculnya KPK, semakin menampakkan seperti apa wajah pemerintahan di negeri ini yang begitu buruk akibat penyakit korupsi yang tak kunjung-kunjung sembuh. Selain itu KPK dapat diibaratkan sebagai oase di tengah padang pasir yang dapat memberikan harapan baru bagi rakyat terhadap adanya tindakan nyata pemberantasan korupsi di Indonesia yang selama ini telah menjadio penghambat bagi kemajuan negeri ini. 
          
          Kasus korupsi yang selama ini telah berhasil dibongkar baik oleh KPK maupun Kejaksaan sudah meningkat dan upaya pengembalian uang negara yang telah dirampok pun juga semakin meningkat jika dibandingkan periode pemerintahan sebelumnya. Akan tetapi benarkah dengan banyaknya kasus korupsi yang telah berhasil diungkap akan mampu membebaskan Indonesia dari penyakit korupsinya? Bisa saja hanya koruptor-koruptor kelas teri saja yang baru dapat sditindak sehingga seolah-olah penangan terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi telah menunjukkan peningkatan. jadi hanya koruptor-koruptor kecil saja yang yang dapat ditindak, akan tetapi yang besarnya masih berkeliaran dan belum tersenutuh hukum. selain itu juga masih adanya kesan tebang pilih dalam menangani kasus-kasus korupsi. Inilah yang patut kita khawatirkan apabila hal tersebut memang benar adanya, ibarat hanya puncak gunung es yang berhasil dihancurkan akan tetapi dasar dari gunung esnya belum.

           Hal yang paling saya khawatirkan adalah adanya bentuk-bentuk revoluasi korupsi untuk masa-masa selanjutnya, sebab yang melakukan korupsi adalah manusia yang mana manusia dengan pikirannya akan dapat terus mengembangkan diri dalam melakukan tindakan-tindakan korupsi dalam berbagai wujud yang beda-beda. Misalnya suatu tindakan korupsi yang jelas-jelas dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, akan tetapi menggunakan hukum sebagai perisai melalui legalisasi untuk membenarkan adanya tindakan tersebut. hal ini jelas akan semakin menyulitkan bagi lembaga-lembaga penegak hukum untuk dapat menindak pelakunya. hal ini tentu patut diwaspadai.
      
            Selain itu diperlukan upaya untuk memutus mata ranatai dari korupsi yang selama ini terjadi akibat mengalami banalisasi. disinilah peran pendidikan sangan penting dalam menghasilkan generasi penerus dengan akhlak baik, yang selam ini institusi pendidikan hanya lebih menekankan pada kemampuan akademik seseorang saja, akan tetapi sering mengabaikan nilai-nilai kejujuran dalam proses edukasi.
Untuk itulah,  maka sebisa mungkin bidang pendidikan harus disterilkan dari perilaku-perilaku yang berbau korupsi Bagaimana mungkin dapat menghasilkan generasi-generasi yang bebas korupsi kalau dalam prakteknya justru banyak tindakan-tindakan korupsi terjadi di lingkungan sekitarnya?

Rabu, 10 November 2010

TURUNNYA MARTABAT HUKUM

Hukum di negeri kita sudah tak jelas wajahnya. antara kebenaran dan kesalahan sulit untuk dibedakan. maka tidak heran jika martabat dari hukum di negeri kita mengalami penurunan.
Kita lihat saja bagaimana polisi yang seharusnya mampu melindungi masyarakatnya dan kadang kala ditakuti sehingga masyarakat tidak melanggar hukum, kini tidak demikian malah yang terjadi justru sebaliknya. polisi  justru kehilangan nyawanya di tangan masyarakat yang bertindak beringan dan anarkis. Ini menunjukkan buklti bahwa kesadaran masyarakat akan hukum di negeri ini benar-benar rendah.
Tidak hanya itu, bahkan seorang berani melakukan tindakan yang bersifat melawan hukum di depan pengadilan. sungguh disayangkan hal ini terjadi.
Hal-hal seperi ini tidak bisa hanya dilihat dari segi normatif saja, tetapi perlu dikaji dari segi sosiologi hukum untuk mengetahui kenapa hal tersebut dapat terjadi. ini pun tidak dapat terus dibiarkan terjadi terus menerus karena dapat mengakibatkan kecilnya kontrol hukum terhadap masyarakat.