Kamis, 31 Maret 2011

PERMASALAHAN REVISI UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003

A. KRISIS HUKUM KETENAGAKERJAAN
Lahirnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bisa dipisahkan dari kebijakan pemerintah dalam melakukan reformasi di bidang ketenagakerjaan dalam rangka memenuhi permintaan modal asing/kapitalis yang dipaksakan melalui badan-badan seperti World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF) sebagai kekuatan pemaksa kapitalis internasional bagi seluruh Negara terbentuknya liberalisasi pasar.
Bentuk-bentuk pemaksaan ini dapat ditemui melalui penghapusan tariff (penghapusan pajak impor dan kuota ekspor) ataupun penghapusan berbagai subsidi bbuat rakyat (pendidikan, kesehatan, BBM, dan lain-lain). Indonesia sebagai Negara berkembang adalah salah satu Negara yang terkena dampak akibat pemaksaan lembaga-lembaga donor kapitallis internasional tersebut, yaitu sejak ditandatanganinya Letter of Intens (baca LoI) antara pemerintah Indonesia dan IMF, yang salah satu poinnya adalah pemerintah Indonesia harus melakukan reformasi terhadap hukum perburuhan yang dipandang terlalu memberikan perlindungan (protection) terhadap buruhnya dan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, yang akhirnya lahir tiga paket Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI.
Di satu sisi pekerja/buruh diperbolehkan berorganisasi, bahkan dipermudah dengan 10 orang pekerja / buruh boleh membentuk organisasi pekerja/buruh, tetapi tidak ada jaminan perlindungan bagi pekerja/buruh yang berorganisasi. Di lain pihak, dengan system kerja kontrak dan outsourcing sudah dipastikan pekerja/buruh takut untuk masuk/membentuk serikat pekerja/buruh karena takut tidak diperpanjang masa kontraknya. Padahal serikat pekerja/buruh adalah alat yang mutlak dibutuhkan oleh buruh untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya, serta untuk membentengi kaum pekerja/buruh dari perlakuan buruk pengusaha. Belum lagi mandulnya penegakan hukum dari aparat pemerintah. Banyak kasus-kasus pidana yang dilakukan pengusaha untuk melakukan tindakan menghalang-halangi hak kebebasan berserikat yang telah dilaporkan kepada polisi dan Depnaker, namun tidak ditindaklanjuti. Hal ini semakin meneguhkan bahwa pemerintah dan pengusaha sama saja.
Disahkannya tiga paket undang-undang perburuhan oleh DPR dan pemerintah merupakan pukulan yang telak bagi kaum buruh /pekerja dan gerakan buruh karena tiga undang-undang tersebut kualitasnya lebih rrendah dari peraturan yang digantinya, yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964. Sebab kedua undang-undanng yang dibuat di zaman Soekarno ini sangat jelas dan meyakinkan masih memiliki paradigm bahwa kaum pekerja/buruh adalahh kelompok yang lemah atau rendah dibandingkan dengan pemilik modal/pengusaha, sehingga wajib diberikan perlindungan dalam bentuk kepastian kerja dan perllindungan sosialnya, intinya kaum buruh diberikan perlindungan (proteksi) oleh pemerintah melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang No, 12 Tahun 1964. Adapun melalui tiga paket Undang-Undang ketenagakerjaan saat ini, pemerintah lepas tangan (tidak memberikan perlindungan terhadap kaum pekerja/buruh) dan menyerahkan sepenuhnya masalah perburuhan ini pada mekanisme pasar.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 semenjak lahir telah menjadi kontroversi baik di kalangan pengusaha, pemerntah, apalagi di kalangan pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh. Para pekerja/buruh secara lantang menyatakan penolakannya, mulai dari petisii, pernyataan sikap, menyampaikan draf tandingan bahkan sampai aksi-aksi jalanan di berbagai kota dan kawasan industry yang melibatkan ribuan buruh. Namun, meskipun mendapat penolakan dari kaum buruh tetap saja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini dipaksakakn berlaku oleh rezim penindas pekerja/buruh.
Masalah yang pokok dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah menghilangkan jaminan hak atas pekerjaan, melegalkan praktik system kerja kontrak illegal dan outsourcing, melepaskan tanggungjawab, serta kewajiban Negara untuk melindungi pekerja/buruh dan mempertahankan hak atas pekerjaannya, mengebiri serikat pekerja/buruh dan melegitimasi upah murah. Intinya substansi isi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini sangat merugikan dan tidak berpihak pada kaum pekerja/buruh, sehingga dampaknya sangat nyata dirasakan oleh kakum pekerja/buruh dan keluarganya begitu buruk dan menyengsarakan. Sebagaimana kita saksikan semenjak diberlakukan undang-undang tersebut, gelombanng PHK missal terjadi di mana-mana dengan tanpa pesangon, ataupun dalam rangka menggantikan buruh tetap menjadi pekerja/buruh kontrak, semua perusahaan beramai-ramai tidak lagi menerima pekerja/buruh tetap, semuanya sebagai pekerja/buruh kontrak atau outsourcing demi menghindari berbagai kewajiban pengusaha dalam pemenuhan hak-hak pekerja/buruh (upah yang layak, jaminan social, pesangon, ddan THR). Di samping itu masih banyak lagi deretan peristiwa yang menjelaskan praktik-praktik yang membuat kaum pekerja/buruh ditindas dan dihisap (eksploitasi) baik yang terang-terangan ataupun yang terselubung yang dilakukan oleh pemodal/pengusaha dan pemerintah atas nama hukum Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
Di dalam UUD 1945 pasal 27 ayatt (2) telah ditegaskan bahwa setiap warga Negara berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Jelaslah bahwa pemerintah mempunyai tugas melayani dan melindungi rakyatnya ttermasuk kaum buruh yang dalam proses ekonomi sangat menentukan bagi berputarnya roda ekonomi satu Negara.
Adanya indikasi revisi undang-undang ketenagakerjaan ini pun adalah dalam rangka memenuhi permintaan modal asing yang akan berinvestasi di Indonesia, karena dipandang bahwa undang-undang yang ada tidak ramah pada investasi dan terlalu memproteksi (melindungi) kaum pekerja/buruh. Pemerintah sendiri menargetkan paling lama pad bulan Juni 2006 revisi undang-undang ketenagakerjaan dan peraturan perburuhan lainnya ini sudah harus selesai, selain undang-undang di bidang perburuhan, pemerintah juga melakukan tevisi mengenai undang-undang PMA sesaui dengan permntaan para investor (multi national Corporatioan/MNC) untuk memeberikan kemudahan dan akses yang benar bagi para kapitalis asing dalam menguras dan merampok kekayaan alam Indonesia, serta memeras dan menindas kaum pekerja/buruh.
Dengna batasan waktu sampai bulan Juli 2006, pemerintah Indonesia harus segera melakukan implementasi kebujakan perburuhan yang propasar bebas. Revisis tersebut disinyalir akan dilakukan oleh pemerintah dengan langkah cepat dalam rangka memenuhi permintaan modal asing dan menghindari gejolak dari kaum pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh, serta polemic yang berkepanjangan. Diperkirakan revisi akan dilakukan tidak dengan cara menerbitkan undang-undang pengganti undang-undang ketenagakerkaan melainkan dengan cara mebuat peraturan presiden, sehingga tidak melibatkan DPR atau denagn kata lain bahwa revisi serikat pekerja/buruh yang mudah diatur saja. Revisi ini akan segera dapat diimplementasikan dan mendorong investasi asing segera masuk ke Indonesia.
Penolakan terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan revisinya menjadi agenda yang sangat penting dan mendesak yang harus dilakukan oleh seluruh kaum pekerja/buruh Indonesia dan serikat buruh progresif. Mereka harus segera melakukan penggalangan massa dan kampanye public yang sangat kuat untuk mendorong isu ini menjadi focus perhatian bagi semua kaum buruh dan juga rezim yang berkuasa agar bersedia memperhatikan nasib kaum pekerja / buruhnya.

Sumber; Sutedi, Adrian.2009.Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika.hlm. 249-252

Tidak ada komentar:

Posting Komentar